Kamis, 07 Januari 2010

PERLUNYA BASIC LIFE SKILL BAGI ANAK USIA DINI

Pendidikan anak usia dini berperan penting dalam membentuk kepribadian anak sebelum ia memasuki jenjang pendidikan berikutnya. Keberadaan seseorang di masa yang akan datang akan sangat ditentukan oleh pendidikan yang didapatnya pada saat ia berusia dini.
Karena bagaimana pun, anak yang berada pada rentang usia 0 – 7 tahun (usia dini) memiliki kecerdasan dan kemampuan yang luar biasa dibanding dengan usia di atasnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh beberapa ahli pendidikan anak bahwa usia dini adalah masa golden age (masa keemasan). Karena itu, merupakan sebuah keharusan bagi orang tua di manapun untuk mengoptimalkan masa usia dini putera-puterinya dengan pembelajaran yang holistik (menyentuh berbagai aspek; fisik, sosio emosional, bahasa, daya pikir, dan daya cipta). Sebagai contoh, orang tua secara rutin memberikan berbagai stimulus (rangsangan) agar anak mau berjalan tanpa harus terus digendong (untuk anak usia 1-2 tahun). Selain itu, orang tua juga tidak keberatan bila temboknya penuh coretan oleh anak yang sedang masa-masanya ingin menulis dan menggambar. Dan yang perlu diperhatikan oleh setiap orang tua adalah berusaha untuk selalu tanggap terhadap apa-apa yang dikemukakan oleh anak, apakah itu keluhan, pertanyaan, dan lain sebagainya.

Terkait dengan keharusan pendidikan diterapkan sejak usia dini, bahkan jauh sebelumnya yaitu sejak dalam kandungan (prenatal education), anak diharapkan memiliki pemahaman terhadap apa yang dilihat, apa yang didengar, dan apa yang dialaminya. Sebagai contoh, anak usia empat tahun diajari oleh orang tuanya untuk mampu menghafalkan do’a. Mulai dari do’a bangun tidur sampai do’a setelah makan. Dengan masa keemasan yang dimilikinya, maka anak akan secara mudah menghafalkan setiap do’a yang diberikan oleh orang tuanya itu. Bahkan kemampuan menghafalnya jauh lebih cepat dibanding kemampuan menghafal orang dewasa.

Orang tua akan sangat bangga jika anaknya menguasai hafalan do’a-do’a harian. Namun tidak bisa dipungkiri, bila ternyata setelah beberapa tahun kemudian, hafalan do’a yang telah dikuasainya itu tak ada satu pun yang menempel. Kasus semacam ini tidak jarang terjadi di banyak keluarga.

Sebagai orang tua, baik di rumah maupun di sekolah, tentu saja kita harus tanggap terhadap keadaan demikian. Karena bagaimanapun, baik orang tua maupun guru di sekolah adalah cermin yang setiap saat diteladani oleh anak. Apa yang kita ucapkan, apa yang kita perbuat, dan apa yang kita lakukan akan terekam kuat dalam memori anak-anak kita sampai mereka berusia dewasa sekalipun.

Faktor yang menyebabkan terjadinya kasus yang dikemukakan di atas, salah satunya adalah karena tidak adanya pembelajaran atau pembekalan life skill dari orang tua kepada anaknya, atau dari guru kepada muridnya. Dengan adanya life skill (kecakapan hidup), pembelajaran yang diperoleh anak tidak sekadar kegiatan mentransfer apa yang dikuasai oleh orang tua. Namun lebih jauh, anak akan memahami esensi dari apa yang dibelajarkan oleh orang tua kepada mereka. Contoh sederhana, ketika anak memahami apa itu do’a dan mengapa mereka harus berdo’a, maka anak kita akan menganggap do’a sebagai sebuah kebutuhan. Bukan suatu yang cukup hanya dihafalkan. Bahkan bukan sebagai beban. Sehingga mereka tidak harus bersusah payah menghafalkan. Akan tetapi, seiring dengan kebiasaan berdo’a yang dilakukannya, maka sampai kapan pun anak akan tetap hafal dengan do’a-do’anya, bahkan lebih jauh lagi, mereka akan paham terhadap apa yang dibacakannya itu.

Adapun beberapa contoh lain yang bisa kita optimalkan untuk membangun keterampilan life slill pada anak-anak kita, misalnya : pada saat anak kita belajar matematika, yang ada di pikiran kita biasanya bagaimana mengenalkan angka pada anak. Kemudian dengan mudahnya kita membelajarkan mereka dengan penambahan dan pengurangan. Padahal, bila kita mau menjadi orang tua kreatif hanya dengan menggunakan fasilitas yang ada, kita bisa mengajak mereka bekerja di dapur bersama kita (untuk anak perempuan). Bahkan ketika kita tengah memotong tempe sekalipun, ketika itulah pembelajaran life skill berlangsung. Anak bisa mengetahui objek secara langsung dan bisa menghitungnya satu demi satu setiap potongan tempe yang hendak kita goreng. Setelah itu, anak pun paham dengan konsep bilangan yang telah dikuasainya.

Dalam kaitannya dengan perkembangan anak usia dini, life skill merupakan modal yang akan menopang tumbuh kembang anak. Dengan adanya pembekalan life skill sejak anak usia dini, maka dapat dipastikan bahwa ketika anak masuk ke jenjang yang lebih tinggi, atau ketika anak sudah mencapai usia dewasa, maka life skill yang dimilikinya akan senantiasa diberdayakan dan dioptimalkan. Hal ini sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa pendidikan anak usia dini merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan pada masa berikutnya. Hal ini dapat diartikan bahwa jika orang sudah dibiasakan life skillnya terasah sejak usia dini, sangat memungkinkan baginya untuk tetap memiliki life skill yang terasah.

Selain itu, dengan diterapkannya pendidikan berbasis life skill, dengan sendirinya pendidikan tersebut akan lebih substansif dan bermakna. Pendidikan benar-benar bukan sekadar transformasi pengetahuan atau wawasan yang dimiliki oleh orang tua kepada anaknya.

Dengan adanya pembelajaran life skill pula, maka anak akan terbiasa akan melalui proses-proses pemikiran yang tinggi, termasuk didalamnya berpikir kreatif. Hal ini sebagaimana terjadi di negara Barat, dimana Guilford (1950) dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden American Psychological Association, menyatakan bahwa :

Keluhan yang paling banyak saya dengar mengenai lulusan perguruan tinggi kita ialah bahwa mereka cukup mampu melakukan tugas-tugas yang diberikan dengan menguasai teknik-teknik yang diajarkan, namun mereka tidak berdaya jika dituntut memecahkan masalah yang memerlukan cara-cara baru.

Dengan demikian, tidak salah bagi kita untuk memberi bekal life skill dalam pendidikan anak usia dini, karena secara tidak langsung kita telah melatih anak kita untuk berpikir secara kreatif.

Adapun kelebihan lain dari pembekalan life skill yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya atau oleh guru kepada muridnya, secara tidak langsung kecerdasan majemuk yang dimiliki anak akan berkembang dengan baik. Kecerdasan yang berkembang pada diri anak tidak terbatas pada kecerdasan yang bersifat matematis (Intellegence Quotions), namun kecerdasan-kecerdasan selain kecerdasan matematis pun, seperti kecerdasan emosional (emotional intelligence), kecerdasan musikal (music intellegence), kecerdasan linguistik (lingistic intellegence), kecerdasan intrapersonal (self intellegence), kecerdasan antarpersonal (people intellegence), dan kecerdasan naturalis (natuel intellegence), sangat potensial untuk berkembang.

Sebagai contoh, ketika suatu saat anak dihadapkan pada suatu permasalahan, misalnya kesulitan dalam memecahkan soal hiitungan. Dengan bekal life skill, dapat dipastikan bahwa anak tersebut mampu memecahkan soal yang dihadapinya, karena ia tidak sekadar memberdayakan kecerdasan logis matematisnya saja, namun kecerdasa intrapersonal pun turut berkontribusi dalam bentuk penguasaan dan pengendalian emosi.
Selain itu, dengan bekal life skill, perkembangan kemampuan bahasa anak juga akan berkembang dengan baik. Adapun salah satu tugas perkembangn bahasa yang dilalui anak adalah kegiatan membaca. Dengan demikian, ketika kemampuan bahasanya berkembang dengan baik, sangat potensial bagi anak untuk gemar membaca. Sementara dengan kemampuan life skill yang dimilikinya, maka anak akan menganggap kegiatan membaca sebagai suatu kebutuhan. Ia akan paham bahwa kegiatan membaca itu bermanfaat.

Selanjutnya, bila kita telusuri kelebihan-kelebihan lain yang didapatkan dari penguasaan life skilll, sebetulnya banyak sekali. Semua orang tua dan guru pasti akan membuktikan seberapa besar kontribusi penguasaaan life skill terhadap tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, tidak ada kata terlambat bagi kita untuk mengupayakan anak-anak kita agar terbiasa melakukan pembelajaran yang berbasis life skill. Karena bagaimanapun, masa yang dimiliki oleh anak usia dini adalah masa yang fundamental dalam kehidupannya. Apa yang diterapkan oleh orang tua pada masa anak berusia dini, akan membekas bagi anak untuk dibawa sampai masa yang akan datang.

HOME SCHOOLING BAGI ANAK USIA DINI

Pendidikan anak usia dini di negara kita berum tergarap maksimal. Dari 28 juta anak usia 0-6 tahun, 73 persen atau sekitar 20,4 juta anak di antaranya belum mendapatkan pendidikan. Sedang sekitar 7,5 juta anak, sudah mengenyam pendidikan usia dini seperti membaca dan berhitung yang dilakukan oleh lembaga-lembaga nonformal seperti kelompok bermain dan tempat penitipan anak (TPA).
Beragam upaya telah dilakukan pemerintah. Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Depdiknas, misalnya, menggandeng berbagai organisasi kewanitaan seperti PKK, Muslimat NU, Aisiyah, dan Kowani untuk meningkatkan jumlah anak usia dini untuk mendapatkan pendidikan. "Kami menggandeng organisasi wanita karena anak cenderung dekat dengan ibunya," kata Direktur PAUD Ditjen PLS, Gutama, Maret lalu.
Estimasinya, Diknas mentargetkan peningkatan pendidikan anak usia dini sebesar 12,5 persen atau menjadi 11 juta anak. Pada tahun 2009 ditargetkan menjadi 17,3 juta anak. Saat ini, terdapat 9.668 pos Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), berupa 635 Tempat Penitipan Anak (TPA), 7.784 kelompok bermain, dan 1.249 pos PAUD lainnya yang berupa Posyandu, Bina Keluarga Balita (BKB), dan lembaga kewanitaan.
Sementara itu, dana yang dialokasikan Diknas untuk mengembangkan PAUD pada tahun 2006, kata Gutama, sebesar Rp 109 miliar. "Dana ini dipersiapkan agar anak punya modal dasar sebelum masuk ke sekolah formal," jelasnya.
Cukupkah dana yang dianggarkan itu? Tentu tidak, bila melihat angka 20, 4 juta anak yang harus ditangani. Padahal, pendidikan anak usia dini adalah hal yang vital. Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, pada usia yang sangat dini, sedang terbentuk berbagai potensi anak. "Kecerdasan anak atau kemampuan belajar anak itu 50 persen sudah terbentuk pada empat tahun pertama," ujar Kak Seto, begitu ia kerap disapa.
Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini?
Ibu sebagai madrasah
Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat
Pendidikan anak adalah hak yang harus ditunaikan orang tuanya, terutama ibu. "Al ummu madrasatun, ibu itu ibarat sebuah sekolah," ujar pengamat pendidikan, Nibras OR Salim.
Ibu, kata Nibras, adalah guru dan pengayom atau pelindung, dan 'wakil' dari Allah Ar-Rahim. "Saya temukan sebuah hadis, selama seorang perempuan hamil, Allah memberikan pahala kepada ibu itu seolah-olah dia melakukan ibadah sunat sepanjang kehamilan," ujarnya.
Konsep home schooling yang mulai dikenal di negara kita, tidak ada salahnya diadopsi untuk menangani anak usia dini. Setiap ibu, kata dia, hendaknya menyiapkan diri menjadi "guru" bagi anak-anaknya. Kalau itu dipersiapkan, maka ibu akan terampil bagaimana menjadi guru yang baik bagi buah hatinya: mempunyai sifat kasih sayang, mengayomi, memberikan rasa aman pada anak, dan mampu memberikan penghargaan pada anak.
Dalam teori ilmu jiwa perkembangan anak, kata dia, seorang anak tidak boleh dipukul, dipaksa, diancam, atau dimarahi. "Walaupun dia salah, jangan dimarahi, tapi diarahkan ke yang positif. Ini berlaku untuk anak usia nol sampai delapan tahun," tambahnya. Bila hal ini dipegang, maka home schoolling batita akan "sukses" dilakukan.
Sedang menurut Kak Seto, pada usia ini anak harus diberi stimulasi mental yang kaya namun tetap dalam suasana yang kondusif," ujarnya. Misalnya tetap dengan kasih sayang dan suasana yang menyenangkan, anak diajari mengenai nilai-nilai hidup yang positif. "Bukan agar dia mahir membaca atau menulis, ini keliru besar," ujarnya.
Kak Seto lalu mengutip pendapat seorang pakar pendidikan berkebangsaan Jepang, Sinichi Suzuki. Menurut Suzuki, belajarlah seperti para ibu mengajarkan anak-anak berbicara. "Mereka mengajarkan bahasa tidak dengan kekerasan tapi dengan peluk manja dan kasih sayang," ujarnya.
Konsep ini pula yang mestinya diadopsi dalam home schoolling itu. ''Jadi, kalau kita mengajarkan matematika, mengajarkan moral, budi pekerti itu juga dengan cara-cara kasih sayang termasuk mengenalkan alam. Sekolah tidak harus di ruang, gedung, menurut saya sangat kaku, anak dituntut berpikir abstrak, anak-anak itu berpikir dengan gerakannya jadi dengan berlari, melempar, berteriak, itu sudah belajar banyak,'' ujarnya menambahkan. Selamat ber-home schoolling dengan buah hati Anda! n dam
Begitu bunyi sebuah hadis. Islam mengedepankan pendidikan anak tak hanya di pada usia sekolah saja, tapi sejak dari buaian, bahkan dalam kandungan.

BERMUSIK AKTIF SEJAK USIA DINI

ANDA mungkin sudah sering mendengar, betapa besar manfaat musik bagi setiap orang, apalagi janin dan anak-anak yang sedang masa pertumbuhan. Dari yang meningkatkan kepekaan, menstabilkan emosi, meningkatkan kecerdasan, sampai meningkatkan kemampuan logika.
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan ahli saraf dari Universitas Harvard, Mark Tramo, M.D. Ia mengatakan, di dalam otak kita yang terdiri dari jutaan neuron yang menyebar di otak akan menjadi aktif saat mendengarkan musik. Rangsangan neuron itulah yang meningkatkan kecerdasan.
Sementara Dr. Dee Joy Coulter, yang menjadi penulis buku "Early Childhood Connections: The Journal of Music and Movement Vased Learning", menyebutkan memang banyak manfaat yang bisa dirasakan anak dengan mendengarkan musik.
Lagu-lagunya pun akan memperkenalkan anak pada pola bicara, keterampilan sensor motorik, dan berbagai gerakan penting yang bisa dipelajarinya.
Setelah para ibu menyadari hal itu, mereka pun mulai memperdengarkan musik pada anak sejak dalam kandungan. Setelah lahir dan tumbuh, orang tua pun semakin mendekatkan anak pada musik dengan berbagai cara yang salah satunya melalui les musik.
Di Bandung, berbagai tempat dan alternatif pilihan memang tersebar dan cukup banyak jumlahnya. Mungkin itu terkait juga dengan image Ban¬dung yang dikenal sering melahirkan musisi-musisi kreatif.
Lembaga musik itu antara lain; Purwatjaraka Music Studio, Melodia, Nada, Elfa's Music School, Stesa, Braga Music School, Leo Music, Vence Music Studio, Georama, Harmoni, dan lain sebagainya. Yang privat, meski tanpa label nama, tetap bisa dikenal dan berperan aktif mengajarkan musik melalui promosi dari mulut ke mulut.
Kebanyakan les musik itu, diikuti anak-anak sekolah bahkan prasekolah. Disebutkan Deborah K, dari Wisma Musik Stesa, hampir 80 prosen anak didik yang menimba ilmu musik di Stesa datang dari usia 4 hingga 15 tahun. "Dorongan orang tua, merupakan faktor utama datangnya anak-anak menekuni dunia musik. Namun tak sedikit anak yang pada akhirnya ketahuan, punya bakat kuat di dunia musik," ujar Deborah, guru musik klasik yang akrab disapa Kak Deby.
Menurut pengajar di sekolah musik yang bernaung dibawah LCM (London College of Music) ini, pembekalan musik bagi anak punyak banyak manfaat. Bahkan musik menjadi terafi bagi penyembuhan anak-anak autis maupun hiperaktif. Namun demikian dalam tahun pertama, menuntut kerja keras dari pengajarnya. Karena pada fase ini cukup sulit membuat mereka diam dan menerima pelajaran.
Jika fase ini berhasil dilewati, secara teknis anak-anak autis maupun hiperaktif memun¬culkan kemampuan yang luar biasa dibanding anak-anak normal, walau dalam konteks penjiwaan mereka di bawah kemampuan anak normal.
Sedang Luana Marpanda, pengajar di Sekolah Musik Nada, usia anak-anak memberikan kesempatan lebih lama untuk belajar dan gurunya pun lebih mudah untuk membentuknya.
Namun, karakter anak-anak yang moody, juga memberikan kesulitan tersendiri bagi para guru. "Karenanya guru harus cerdas membaca karakter anak. Terus men-support bila mereka malas berlatih dan tidak boleh bosan. Seorang guru harus terus memu¬ji dan mencari latihan-latihan yang membuat musik jadi asyik dan menarik," ucap Luana.
Hal itu juga yang dirasakan Stephen Michael Sulungan, pengajar privat piano klasik. Menurutnya, anak-anak lebih mudah untuk dikembangkan bakatnya secara bertahap, meskipun lebih baik dimulai pada usia 5 atau 6 tahun.
Menurut Stephen, saat usia itulah anak sudah mulai memahami benar abjad dan berhitung serta cara berpikirnya pun mulai berkembang. "Kalau usia di bawah itu, kita jadi seperti baby sitter, guru TK, dan guru musik sekaligus," ucapnya sambil tersenyum.
Keduanya pun sepakat tidak ada usia maksimal untuk belajar musik. Siapa pun bisa menyalurkan bakat musiknya kapan saja. "Yang penting mereka punya motivasi untuk belajar. Banyak yang sudah di usia lansia belajar musik untuk terapi agar mereka tidak menjadi bertambah pikun dan bersosialisasi dengan lingkungan yang baru untuk lebih bersemangat dalam hidup," tutur Luana.
**
PEMAHAMAN orang tua akan arti pentingnya musik, membuat les musik berkembang. Tentunya itu pun didukung perkembangan industri musik di Indonesia yang semakin membuka banyak kesempatan.
Pola pengajaran yang muncul pun akhirnya bermacam-macam dan mengakomodasi berbagai aliran musik. Meskipun memang, kebanyakan les itu lebih mengutamakan pembelajaran musik klasik yang dinyatakan bisa menjadi dasar yang baik untuk pengembangan selanjutnya.
Seperti yang dituturkan Stephen, seseorang yang baru belajar musik lebih baik memiliki dasar klasik. Bisa saja langsung mengarah ke musik-musik populer, tapi kata dia hal itu akan menyebabkan minimnya kemampuan pendengaran dan hanya mengutamakan kemampuan mencipatkan melodi yang enak.
"Musik klasik mengutamakan kualitas suara. Jadi, saat pindah ke aliran lain, telinga sudah lebih peka," ujar laki-laki yang menjalani pendidikan musik di Belgia itu dan mempelajarinya lebih dalam dengan berkeliling ke Prancis, Italia, dan Swiss selama kurang lebih 12 tahun.
Namun, menurut Reza Noor, pengajar piano, organ, dan keyboard di Braga Music, Jln. Purnawarman Bandung, metode yang juga berkembang telah memampukan seseorang bisa bermain musik hanya dalam hitungan tidak lebih dari 5 tahun. Apalagi dengan perkembangan teknologi yang memudahkan seseorang untuk bermain musik.
Orang tua mana yang tak ingin memiliki anak cerdas dari segi intelegensia dan mental? Itulah yang bisa didukung dengan aktif bermusik terus-menerus. Berkembangnya industri musik, membuat jalur profesi di bidang ini pun semakin terbuka lebar.
Seperti kata Stephen, seorang pengajar pun hanya ingin menggali potensi semaksimal mungkin tanpa memaksa anak didiknya menjadi seorang musisi. (Vebertina Manihuruk/"PR")***

AUTISME

Kata autis berasal dari bahasa Yunani “auto” yang berarti sendiri karena kalau kita perhatikan maka kita akan mendapat kesan bahwa penyandang autisme itu seolah-olah hidup di dunianya sendiri.Pemakaian istilah autis diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943 walaupun sebenarnya dari berbagai bukti yang ada diketahui bahwa kelainan ini sudah ada sejak jauh sebelum itu namun hanya istilahnya saja yang relatif msh baru. Autisme Masa Kanak adalah gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya sudah tampak sebelum anak tersebut mencapai umur 3 tahun
Jumlah anak yang menderita autis semakin meningkat di berbagai belahan dunia dan dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat baik kaya atau miskin, di desa atau dikota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Penyebab autis sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, ada banyak faktor penyebab (multi faktor) mengapa seorang anak menderita autis. Para ahli menyimpulkan penyebab autis berdasarkan dasar keilmuannya masing2 namun secara garis besar kita bagi menjadi dua faktor yaitu genetik dan lingkungan walaupun faktor genetik itu sendiri masih diperdebatkan.
Faktor genetik: ditemukannya gen autis yang diturunkan dari orangtua pada beberapa anak autis.
Faktor lingkungan: Lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun
Makanan yang mengandung zat2 pengawet dan pewarna
Kemungkinan yang disebabkan akibat vaksinasi namun hal tersebut msh dipertentangkan
Anak yang menderita autis akan mengalami gangguan dalam perkembangannya. Perkembangan yang terganggu adalah dalam bidang :
1. Komunikasi : Perkembangan bicaranya terlambat, atau samasekali tidak berkembang.
• Tidak ada usaha untuk berkomunikasi dengan gerak atau mimik muka untuk mengatasi kekurangan dalam kemampuan bicara.
• Tidak mampu memulai suatu pembicaraan atau memelihara suatu pembicaraan dua arah yang baik.
• Bahasa yang tidak lazim yang diulang-ulang atau stereotipik.
• Tidak mampu untuk bermain secara imajinatif, biasanya permainannya kurang variatif.
2. Interaksi sosial :
• Kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan ekspresi fasial, maupun postur dan gerak tubuh, untuk berinteraksi secara layak.
• Kegagalan untuk membina hubungan sosial dengan teman sebaya, dimana mereka bisa berbagi emosi, aktivitas, dan interes bersama.
• Ketidak mampuan untuk berempati, untuk membaca emosi orang lain.
• Ketidak mampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.
3. Perilaku : aktivitas, perilaku dan minatnya sangat terbatas, diulang-ulang dan
stereotipik seperti dibawah ini :
• Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku yang tidak normal, misalnya duduk dipojok sambil menghamburkan pasir seperti air hujan, yang bisa dilakukannya berjam-jam.
• Adanya suatu kelekatan pada suatu rutin atau ritual yang tidak berguna, misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu, sikat gigi, pakai piyama, menggosokkan kaki dikeset, baru naik ketempat tidur. Bila ada satu diatas yang terlewat atau terbalik urutannya, maka ia akan sangat terganggu dan nangis teriak-teriak minta diulang.
• Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti misalnya mengepak-ngepak lengan, menggerak-gerakan jari dengan cara tertentu dan mengetok-ngetokkan sesuatu.
• Adanya preokupasi dengan bagian benda/mainan tertentu yang tak berguna, seperti roda sepeda yang diputar-putar, benda dengan bentuk dan rabaan tertentu yang terus diraba-rabanya, suara-suara tertentu.
Episentrum.com

MENANGANI ANAK BERBAKAT

Oleh
Sariman Aris Purnomo, S.Pd


Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa yang membedakan antara manusia dengan binatang adalah kemampuan intelektualnya. Dengan kemampuan ini manusia dapat melakukan perubahan kebudayaan maupun pembaharuan teknologi di dalam masyarakat. Oleh karenanya pendidikan yang antara lain berfungsi mengembangkan kemampuan ini, tidak boleh hanya semata-mata menyajikan kumpulan pengetahuan yang sifatnya materi hafalan belaka. Sekolah-sekolah sebagai institusi pendidikan seyogyanya dapat mewujudkan lingkungan yang baru, penuh kekayaan pengalaman yang bersifat human, fleksibel dan mengandung tantangan untuk dapat memenuhi kebutuhan setiap individu.
Bila diamati secara cermat, setiap manusia memiliki ciri, kecenderungan dan potensi sendiri-sendiri sebagai anugerah Tuhan dan alam (a gift of God and nature). Di sini kita akan menemukan anak manusia dengan kemampuan biasa (rata-rata) atau luar biasa (di bawah atau di atas rata-rata). Anak dengan karakteristik yang beragam itu memerlukan cara perlakuan dan penanganan yang berbeda-beda untuk dapat mencapai tumbuh kembang yang optimal.
Khusus untuk anak-anak yang berkemampuan di atas rata-rata (dalam konteks ini dikatakan sebagai anak berbakat) perlu ditemukenali lebih jauh agar para guru dan orangtua dapat memahami kemampuan anak berbakat dibandingkan dengan kemampuan anak lainnya, sehingga para guru dan orangtua akan lebih efektif dalam membina dan membimbing anak. Sementara bagi sang anak sendiri, akan tercukupi kebutuhan-kebutuhannya serta terpuaskan keinginannya untuk mengembangkan bakatnya.
Siapa sebenarnya anak berbakat itu? Anak berbakat adalah mereka yang oleh orang-orang profesional diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi karena memiliki kemampuanh yang unggul. Kemampuan yang dimaksud tidak sebatas kemampuan melihat hubungan-hubungan logis dan mengadaptasi prinsip-prinsip abstrak kepada situasi konkret, tetapi juga memiliki kemampuan menggeneralisasikan, lebih dari orang lainnya. Oleh karenanya, kita dapat mendefinisikan anak berbakat itu sebagai anak yang : (1) memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata; (2) memiliki tanggung jawab (komitmen) yang tinggi terhadap tugas; (3) memiliki kreativitas yang tinggi. Dengan demikian, anak berbakat akan mampu mengembangkan sifat-sifat tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan di masyarakat.
Anak berbakat (gifted) harus dibedakan dengan anak genius. Karena anak genius adalah anak berbakat tetapi dengan taraf sangat tinggi (highly gifted) jauh di atas anak berbakat pada umumnya walaupun anak berbakat itu sendiri telah memiliki kemampuan di atas rata-rata.
Berdasarkan teori Triarchic, pada prinsipnya ada 3 macam keberbakatan: Pertama, bakat analitik, yakni bakat dalam memilah masalah dan memahami bagian-bagian dari masalah tersebut. Kedua, bakat sintetik, yakni bakat dalam kemampuan intuitif, kreatif dan cakap dalam mengatasi situasi-situasi tertentu. Ketiga, bakat praktis, yakni bakat dalam analitik maupun sintetik dalam kehidupan sehari-hari
Bagian terpenting dari teori di atas menurut Stenberg adalah kemampuan mengkoordinasikan 3 aspek kemampuan dan bagaimana mengaplikasikannya untuk memperoleh keberhasilan. Oleh karena itu menurut Stenberg, orang yang berbakat adalah orang yang mampu mengelola sendiri cara berpikir yang baik.
Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian Terman, ada empat macam keberbakatan dengan segala macam karakteristiknya:
Pertama, keberbakatan akademik dengan karakteristik antara lain : memiliki perbendaharaan yang maju, meninat terhadap buku dan membaca lebih dini, menyukai buku bacaan orang dewasa, cepat dalam belajar dan mudah mengingat, cepat memahami hubungan sebab akibat, memiliki rasa ingin tahu yang besar dan sebagainya.
Kedua, keberbakatan kreatif dengan karakteristik antara lain: menyukai kerja sendiri dengan cara sendiri, senang bereksperimen dan penuh imajinasi, mampu berpikir dengan banyak cara, banyak menghasilkan ide-ide bagu dan sebagainya.
Ketiga, keberbakatan kepemimpinan dan sosial dengan karakteristik: menarik dan rapi dalam penampilan, diterima oleh mayoritas, memberikan sumbangan yang positif dan konstruktif, bersikap adil/netral, memiliki tenggang rasa, dan sebagainya.
Keempat, keberbakatan seni dengan karakteristik mampu menyusun nada-nada orisinal, menyukai aktivitas musikal, mudah mengingat dan memproduksi melodi, memiliki titi nada yang sempurna, dapat memainkan berbagai instrumen/alat musik, dan sebagainya.
Anak berbakat memerlukan berbagai kebutuhan khusus sesuai dengan ciri keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing anak. Kebutuhan khusus inilah yang memerlukan layanan khusus dalam bentuk pendidikan luar biasa (special education) karena sifatnya yang amat khusus.
Menurut Virgil Ward, pendidikan anak berbakat intelektual berbeda dengan anak yang lain dan seyogyanya amat menekankan pada aspek aktivitas intelektualnya. Disamping itu, pembelajaran anak berbakat harus diwarnai kecepatan dan tingkat kompleksitas yang lebih sesuai kemampuannya yang secara riil lebih tinggi dari anak biasa.
Sementara Kitano dan Kirby menambahkan bahwa individu berbakat memerlukan pertimbangan khusus dalam pendidikannya, karena secara kualitatif berbeda dengan individu lainnya. Program pendidikan yang dirancangpun harus berbeda dengan program pendidikan untuk anak lainnya, dengan penekanan luar biasa pada perkembangan kreatif dan proses berpikir tinggi. Sehubungan dengan itu, hafalan dalam pembelajaran bagi anak berbakat harus sejauh mungkin dicegah. Tekanannya justru pada teknik yang berorientasi pada penemuan (discovery oriented) dan pendekatan induktif.
Di sinilah dibutuhkan kurikulum yang berdiferensiasi bagi anak berbakat, terutama yang mengacu pada penanjakan kehidupan mental melalui berbagai program yang akan menumbuhkan kreativitasnya serta mencakup berbagai pengalaman belajar intelektual tingkat tinggi, meskipun kurikulum nasional sepenuhnya juga diperlukan oleh anak berbakat.
Agar materi belajar tidak terlalu sempit maka berbagai wahana luar sekolah seperti kegiatan di masyarakat atau kegiatan ekstrakurikuler dengan pengkajian suatu obyek perlu lebih digiatkan untuk mendukung kurikulum yang berdiferensiasi.
Sementara bagi orangtua, anak berbakat tetap harus dibimbing dan diasuh sebagai anak lainnya, yakni dicukupi kebutuhan-kebutuhannya baik fisik (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dll) maupun psikis (kenyamanan, ketenangan, kasih sayang dan perlindungan maupun rekreasi) secara penuh.
Itu artinya, anak berbakat memerlukan perlakuan dan penanganan khusus agar anak berbakat dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Tugas guru dan orangtua adalah mengkondisikan situasi lingkungan belajar anak agar mampu mendukung tumbuh kembang keberbakatannya sesuai dengan spesifikasi yang dimiliki.