Pendidikan anak usia dini berperan penting dalam membentuk kepribadian anak sebelum ia memasuki jenjang pendidikan berikutnya. Keberadaan seseorang di masa yang akan datang akan sangat ditentukan oleh pendidikan yang didapatnya pada saat ia berusia dini.
Karena bagaimana pun, anak yang berada pada rentang usia 0 – 7 tahun (usia dini) memiliki kecerdasan dan kemampuan yang luar biasa dibanding dengan usia di atasnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh beberapa ahli pendidikan anak bahwa usia dini adalah masa golden age (masa keemasan). Karena itu, merupakan sebuah keharusan bagi orang tua di manapun untuk mengoptimalkan masa usia dini putera-puterinya dengan pembelajaran yang holistik (menyentuh berbagai aspek; fisik, sosio emosional, bahasa, daya pikir, dan daya cipta). Sebagai contoh, orang tua secara rutin memberikan berbagai stimulus (rangsangan) agar anak mau berjalan tanpa harus terus digendong (untuk anak usia 1-2 tahun). Selain itu, orang tua juga tidak keberatan bila temboknya penuh coretan oleh anak yang sedang masa-masanya ingin menulis dan menggambar. Dan yang perlu diperhatikan oleh setiap orang tua adalah berusaha untuk selalu tanggap terhadap apa-apa yang dikemukakan oleh anak, apakah itu keluhan, pertanyaan, dan lain sebagainya.
Terkait dengan keharusan pendidikan diterapkan sejak usia dini, bahkan jauh sebelumnya yaitu sejak dalam kandungan (prenatal education), anak diharapkan memiliki pemahaman terhadap apa yang dilihat, apa yang didengar, dan apa yang dialaminya. Sebagai contoh, anak usia empat tahun diajari oleh orang tuanya untuk mampu menghafalkan do’a. Mulai dari do’a bangun tidur sampai do’a setelah makan. Dengan masa keemasan yang dimilikinya, maka anak akan secara mudah menghafalkan setiap do’a yang diberikan oleh orang tuanya itu. Bahkan kemampuan menghafalnya jauh lebih cepat dibanding kemampuan menghafal orang dewasa.
Orang tua akan sangat bangga jika anaknya menguasai hafalan do’a-do’a harian. Namun tidak bisa dipungkiri, bila ternyata setelah beberapa tahun kemudian, hafalan do’a yang telah dikuasainya itu tak ada satu pun yang menempel. Kasus semacam ini tidak jarang terjadi di banyak keluarga.
Sebagai orang tua, baik di rumah maupun di sekolah, tentu saja kita harus tanggap terhadap keadaan demikian. Karena bagaimanapun, baik orang tua maupun guru di sekolah adalah cermin yang setiap saat diteladani oleh anak. Apa yang kita ucapkan, apa yang kita perbuat, dan apa yang kita lakukan akan terekam kuat dalam memori anak-anak kita sampai mereka berusia dewasa sekalipun.
Faktor yang menyebabkan terjadinya kasus yang dikemukakan di atas, salah satunya adalah karena tidak adanya pembelajaran atau pembekalan life skill dari orang tua kepada anaknya, atau dari guru kepada muridnya. Dengan adanya life skill (kecakapan hidup), pembelajaran yang diperoleh anak tidak sekadar kegiatan mentransfer apa yang dikuasai oleh orang tua. Namun lebih jauh, anak akan memahami esensi dari apa yang dibelajarkan oleh orang tua kepada mereka. Contoh sederhana, ketika anak memahami apa itu do’a dan mengapa mereka harus berdo’a, maka anak kita akan menganggap do’a sebagai sebuah kebutuhan. Bukan suatu yang cukup hanya dihafalkan. Bahkan bukan sebagai beban. Sehingga mereka tidak harus bersusah payah menghafalkan. Akan tetapi, seiring dengan kebiasaan berdo’a yang dilakukannya, maka sampai kapan pun anak akan tetap hafal dengan do’a-do’anya, bahkan lebih jauh lagi, mereka akan paham terhadap apa yang dibacakannya itu.
Adapun beberapa contoh lain yang bisa kita optimalkan untuk membangun keterampilan life slill pada anak-anak kita, misalnya : pada saat anak kita belajar matematika, yang ada di pikiran kita biasanya bagaimana mengenalkan angka pada anak. Kemudian dengan mudahnya kita membelajarkan mereka dengan penambahan dan pengurangan. Padahal, bila kita mau menjadi orang tua kreatif hanya dengan menggunakan fasilitas yang ada, kita bisa mengajak mereka bekerja di dapur bersama kita (untuk anak perempuan). Bahkan ketika kita tengah memotong tempe sekalipun, ketika itulah pembelajaran life skill berlangsung. Anak bisa mengetahui objek secara langsung dan bisa menghitungnya satu demi satu setiap potongan tempe yang hendak kita goreng. Setelah itu, anak pun paham dengan konsep bilangan yang telah dikuasainya.
Dalam kaitannya dengan perkembangan anak usia dini, life skill merupakan modal yang akan menopang tumbuh kembang anak. Dengan adanya pembekalan life skill sejak anak usia dini, maka dapat dipastikan bahwa ketika anak masuk ke jenjang yang lebih tinggi, atau ketika anak sudah mencapai usia dewasa, maka life skill yang dimilikinya akan senantiasa diberdayakan dan dioptimalkan. Hal ini sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa pendidikan anak usia dini merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan pada masa berikutnya. Hal ini dapat diartikan bahwa jika orang sudah dibiasakan life skillnya terasah sejak usia dini, sangat memungkinkan baginya untuk tetap memiliki life skill yang terasah.
Selain itu, dengan diterapkannya pendidikan berbasis life skill, dengan sendirinya pendidikan tersebut akan lebih substansif dan bermakna. Pendidikan benar-benar bukan sekadar transformasi pengetahuan atau wawasan yang dimiliki oleh orang tua kepada anaknya.
Dengan adanya pembelajaran life skill pula, maka anak akan terbiasa akan melalui proses-proses pemikiran yang tinggi, termasuk didalamnya berpikir kreatif. Hal ini sebagaimana terjadi di negara Barat, dimana Guilford (1950) dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden American Psychological Association, menyatakan bahwa :
Keluhan yang paling banyak saya dengar mengenai lulusan perguruan tinggi kita ialah bahwa mereka cukup mampu melakukan tugas-tugas yang diberikan dengan menguasai teknik-teknik yang diajarkan, namun mereka tidak berdaya jika dituntut memecahkan masalah yang memerlukan cara-cara baru.
Dengan demikian, tidak salah bagi kita untuk memberi bekal life skill dalam pendidikan anak usia dini, karena secara tidak langsung kita telah melatih anak kita untuk berpikir secara kreatif.
Adapun kelebihan lain dari pembekalan life skill yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya atau oleh guru kepada muridnya, secara tidak langsung kecerdasan majemuk yang dimiliki anak akan berkembang dengan baik. Kecerdasan yang berkembang pada diri anak tidak terbatas pada kecerdasan yang bersifat matematis (Intellegence Quotions), namun kecerdasan-kecerdasan selain kecerdasan matematis pun, seperti kecerdasan emosional (emotional intelligence), kecerdasan musikal (music intellegence), kecerdasan linguistik (lingistic intellegence), kecerdasan intrapersonal (self intellegence), kecerdasan antarpersonal (people intellegence), dan kecerdasan naturalis (natuel intellegence), sangat potensial untuk berkembang.
Sebagai contoh, ketika suatu saat anak dihadapkan pada suatu permasalahan, misalnya kesulitan dalam memecahkan soal hiitungan. Dengan bekal life skill, dapat dipastikan bahwa anak tersebut mampu memecahkan soal yang dihadapinya, karena ia tidak sekadar memberdayakan kecerdasan logis matematisnya saja, namun kecerdasa intrapersonal pun turut berkontribusi dalam bentuk penguasaan dan pengendalian emosi.
Selain itu, dengan bekal life skill, perkembangan kemampuan bahasa anak juga akan berkembang dengan baik. Adapun salah satu tugas perkembangn bahasa yang dilalui anak adalah kegiatan membaca. Dengan demikian, ketika kemampuan bahasanya berkembang dengan baik, sangat potensial bagi anak untuk gemar membaca. Sementara dengan kemampuan life skill yang dimilikinya, maka anak akan menganggap kegiatan membaca sebagai suatu kebutuhan. Ia akan paham bahwa kegiatan membaca itu bermanfaat.
Selanjutnya, bila kita telusuri kelebihan-kelebihan lain yang didapatkan dari penguasaan life skilll, sebetulnya banyak sekali. Semua orang tua dan guru pasti akan membuktikan seberapa besar kontribusi penguasaaan life skill terhadap tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, tidak ada kata terlambat bagi kita untuk mengupayakan anak-anak kita agar terbiasa melakukan pembelajaran yang berbasis life skill. Karena bagaimanapun, masa yang dimiliki oleh anak usia dini adalah masa yang fundamental dalam kehidupannya. Apa yang diterapkan oleh orang tua pada masa anak berusia dini, akan membekas bagi anak untuk dibawa sampai masa yang akan datang.
Kamis, 07 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar